Opini : Refleksi Praktik Sedeqah Kurban Kolektif di sekolah/Madrasah

HUMAS Madrasah PAI Penmad

Banda Aceh – Praktik “Sedekah Kurban” yang marak dilakukan di sekolah dan madrasah menjelang Idul Adha kini menjadi sorotan tajam dalam sebuah opini yang dimuat di media daring Tribun Aceh pada Rabu 4 Juni 2025. Tulisan Opini yang dibuat oleh bapak Samsul Bahri, seorang Guru sekaligus Humas MA Darul Ulum Banda Aceh, ini menarik perhatian media karena secara lugas membahas dilema antara niat mulia menanamkan nilai-nilai kebaikan pada siswa dan kesesuaiannya dengan kaidah syariat ibadah kurban.

Pak Samsul Bahri mengungkapkan keprihatinannya bahwa, meski berlandaskan niat yang terpuji, program ini berpotensi menimbulkan miskonsepsi serius di kalangan siswa dan masyarakat. Ia menyoroti pertanyaan mendasar: apakah iuran dari puluhan, bahkan ratusan siswa, untuk seekor sapi dapat dikategorikan sebagai ibadah kurban yang sah secara syariat? Jawabannya, menurut kaidah fikih, seringkali adalah “tidak”.

Menurut Samsul, inti permasalahannya terletak pada ketidakselarasan antara ketentuan syariat kurban dan praktik kolektif di lapangan. Syariat Islam telah menetapkan batasan jelas: satu ekor kambing/domba untuk satu orang, dan satu ekor sapi/kerbau untuk maksimal tujuh orang. Jika jumlah peserta iuran untuk satu sapi melebihi tujuh orang, maka secara fikih, amal tersebut bukan kurban melainkan sedekah biasa. Ironisnya, banyak lembaga pendidikan kerap mengabaikan batasan ini dengan anggapan “yang penting niatnya kurban dan ada hewan yang disembelih,” padahal niat tulus saja tidak cukup tanpa tata cara sesuai syariat.

Opini ini menhajak kita melakukan kajian ulang tentang pemahaman tentang ‘urf (kebiasaan). Meskipun ‘urf bisa menjadi pertimbangan hukum, ia tidak dapat mengesahkan atau mengubah ketentuan syar’i yang eksplisit. Mengutamakan kebiasaan di atas tuntunan agama dalam perkara kurban adalah kekeliruan fatal yang harus dikoreksi.

Miskonsepsi ini bisa berdampak serius, membuat anak-anak tumbuh dengan pemahaman yang cacat mengenai batasan syariat kurban. Oleh karena itu, ia menekankan urgensi evaluasi dan perbaikan konsep program Sedekah Kurban, bukan untuk menghilangkan niat mulia, tetapi untuk menguatkannya dengan landasan syariat yang benar.

Beberapa langkah perbaikan yang disarankan antara lain menjelaskan batasan syariat kurban kolektif secara detail, menegaskan bahwa iuran kolektif disebut “Program Sedekah Hewan” (menghindari diksi “qurban”), serta menekankan bahwa ini bukan ibadah kurban melainkan sarana melatih sedekah dan empati.

Samsul Bahri berharap, dengan artikel ini, media mengajak kita untuk melakukan refleksi, kaju ulang pemahaman dan praktik demi keabsahan ibadah seluruh umat, memastikan generasi mendatang tidak hanya dermawan, tetapi juga memahami dan melaksanakan ibadah dengan benar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *