Pelatihan Jurnalistik dan Kehumasan yang digelar Kemenag Kota Banda Aceh pada 30 September 2025 bukan sekadar acara seremonial, tetapi sebuah “gugatan” cerdas terhadap cara kita selama ini berkomunikasi. Sebagai bagian dari PIC Humas Madrasah, kami merasakan betul betapa seringnya publikasi lembaga layanan, termasuk madrasah dan KUA, terjebak dalam bahasa birokrasi yang kaku dan dingin.
Biasanya kami ssbagai PIC merilis data, menyusun laporan formal, tapi seringkali gagal menyentuh hati masyarakat. Di era digital, reputasi layanan publik seolah dipertaruhkan setiap detik. Kecepatan informasi seringkali melahirkan disinformasi.
Khairul Umami, pemateri dari Kehumasan Kanwil Kemenag Aceh, dengan tegas mengingatkan kami untuk menjadikan Prinsip Tabayyun (verifikasi) sebagai fondasi utama. Ini adalah respons etis Kemenag.
Selama ini, mungkin kecenderungan kami adalah langsung membela diri ketika muncul isu di media sosial. Kini, kami diajarkan bahwa sebagai penjaga moral publikasi, PIC Humas wajib melakukan Tabayyun internal untuk mendapatkan fakta utuh. Setelah itu, klarifikasi yang disajikan harus seimbang—sebagaimana prinsip Keadilan dalam jurnalistik.
Bayangkan ada keluhan di media sosial tentang pelayanan KUA yang berbelit. Respons kami tidak boleh sekadar bilang “itu tidak benar.” Tapi, kami harus mencari fakta utuhnya: apa akar masalahnya? Mungkin saja dokumen yang dibawa warga tidak lengkap, atau memang ada antrean panjang.
Dengan Tabayyun, kita bisa menyajikan klarifikasi yang memanusiakan dan berimbang, bukan sekadar pembelaan buta. Konten yang keluar dari lembaga harus memiliki kredibilitas tinggi, secara efektif mencerdaskan masyarakat untuk merujuk pada kebenaran.
Sesi pemteri jurnalis senior, Raihan Lubis, benar-benar membuka mata kami terhadap pentingnya Nilai Berita (News Value) dan sudut pandang human interest. Laporan kami seringkali terlalu fokus pada “apa” (program, data, statistik) dan melupakan “siapa” (manusia yang merasakan dampaknya).
Contoh yang paling mudah dipahami: daripada merilis data bahwa “Kemenag Banda Aceh telah menyalurkan dana sosial kepada 500 keluarga,” yang cenderung kering dan menjauhkan masyarakat, kami didorong untuk membuat feature ringan. Kami dilatih membuat narasi yang renyah dan ringan (feature) tentang kisah Ibu Aisyah, seorang penerima bantuan yang kini bisa membiayai sekolah anaknya berkat program tersebut.
Ditambah dengan teknik fotografi yang baik—yang menangkap momen haru tersebut—publik akan merasakan dampak nyata program Kemenag. Ini yang disebut menumbuhkan empati kolektif dan secara otomatis menciptakan rasa memiliki masyarakat terhadap program-program layanan Kemenag.
Salah satu hal yang penting disampaikan adalah PIC harus memahami standar publikasi yang seragam dan profesional di seluruh unit. PIC harus paham kelebihan menggunakan format Piramida Terbalik dalam setiap rilis berita. Kiji kami terlatih untuk fokus pada esensi dan memastikan informasi penting tersampaikan di awal paragraf.
Penguasaan bahasa dan standar yang sama ini adalah kunci sinergi PIC dan Kehumasan. Contoh konkretnya, kami sebagai PIC Humas Madrasah dapat berkolaborasi dengan PIC Humas KUA untuk membuat narasi tentang alumni madrasah kami yang baru menikah. Narasi ini secara elegan menunjukkan integrasi layanan Kemenag, dari pendidikan hingga urusan keluarga, memperkuat citra Kemenag sebagai layanan publik terpadu dan solid. Masyarakat tidak lagi melihat kami sebagai unit-unit terpisah, melainkan sebagai satu sistem yang utuh.
Pelatihan ini adalah visi strategis dan investasi cerdas Kemenag Banda Aceh untuk memastikan bahwa di tengah badai informasi digital, agar publikasi dsn kehumasan tetap berintegritas, informatif, mencerahkan, dan yang terpenting, mampu menyentuh dan menumbuhkan empati di hati masyarakat (Samsul Bahri, SPd)