Sebagai guru madrasah, kami mengikuti pembicaraan di masyarakat, tokoh pendidikan tentang dana komite Madrasah. Polemik ini, yang kerap disederhanakan sebagai “pungutan,” sesungguhnya adalah cerminan dari tantangan besar yang dihadapi madrasah dalam mewujudkan pendidikan bermutu di tengah keterbatasan anggaran. Perbincangan hangat di ruang publik, termasuk warung kopi, menunjukkan adanya harapan tinggi dari masyarakat terhadap kualitas pendidikan madrasah.
Dilema dan Tanggung Jawab Bersama
Madrasah berada dalam dilema antara visi ideal dan realitas anggaran yang terbatas. Kepala madrasah dan komite memikul beban berat, berjuang untuk menyediakan pendidikan terbaik sambil membangun kembali kepercayaan masyarakat.
Tantangan terbesar adalah menyatukan visi semua pihak demi tujuan yang sama.
Untuk mengatasi ini, lembaga seperti Kementerian Agama (Kemenag) dan Ombudsman harus berperan sebagai mitra strategis, bukan hanya pengawas. Kemenag perlu memberikan pembinaan dan pendampingan yang transformatif, sementara Ombudsman dapat menjadi penjamin netralitas yang mendorong penyelesaian masalah secara musyawarah.
Kolaborasi dan Transparansi
Kunci untuk keluar dari polemik ini adalah kemauan kita bersama untuk bersikap transparan dan berkolaborasi. Madrasah harus berani menunjukkan keterbukaan penuh dalam pengelolaan dana. Di sisi lain, partisipasi masyarakat tidak harus selalu berupa uang, tetapi bisa dalam bentuk sumbangan ide, waktu, tenaga, dan keahlian.
Mutu madrasah adalah tanggung jawab kita bersama. Dengan bersikap terbuka, jujur, dan berkolaborasi, polemik ini dapat diubah menjadi momentum untuk membangun madrasah yang kokoh—bukan hanya dari kekuatan anggaran, tetapi dari kekuatan moral dan kebersamaan. (Penulis, Samsul Bahri, guru MA Darul Ulum Banda Aceh)